Selasa, 07 Januari 2014

Bersyukur (tugas PTKI semester 1)

Adi melangkah besar-besar dengan sedikit hentakan. Terlihat jelas dari raut wajahnya ia menyimpan amarah yg siap ia tumpahkan sedikit saja ada yang menyentuhnya. Ya, Adi luar biasa kesal hari itu. Kesal pada kakaknya Ari yang tidak menjemput untuk membawakan tasnya. Bocah berumur 9 tahun itu menggigit bibirnya. Dipikirannya banyak sekali yang akan ditanyakannya pada kak Ari sekaligus kemarahannya. Tidak dipedulikannya kubangan didepannya yang tercipta akibat hujan semalam, malah sengaja dihentakkan kakinya keras keras disana sehingga seragam yang tampak kekuningan dan kebesaran itupun mempunyai corak baru. Adi tidak peduli bahwa nanti Kak Ari harus mencuci bajunya lebih keras karena noda-noda itu. Bagi Adi, itu salah satu bentuk protesnya karena ketidak hadiran Kak Ari siang itu di gerbang sekolahnya.
Kalau boleh jujur, Adi kecil bukan hanya kesal pada Kak Ari tetapi juga pada Bu Sinta karena tadi memarahinya yang terlambat sekolah belum lagi PR matematika yg lupa ia kerjakan. Tapi karena Kak Ari makin membuatnya kesal, ia ingin menumpahkan semua pada Kak Ari. Seharusnya mana boleh ia dibiarkan pulang sendirian, pikirnya.
Pikiran Adi masih berkeliaran sehingga ia tidak sadar sudah hampir sampai di depan gang sempit yg biasa ia lewati setiap sekolah. Kira kira dari sana masih 50 meter lagi untuk sampai kerumahnya yang mungkin tidak pantas disebut rumah karena hanya terdiri dari ruangan yg dipakai sebagai kamar, kamar mandi dan entah layak disebut dapur atau bukan karena hanya ada kompor satu tungku dan sebuah wajan yang dipakai untuk memasak segala sesuatunya. Tapi mau bagaimanapun, itulah peninggalan Bapak satu-satunya sebagai tempat mereka bernaung setelah Bapak meninggal akibat penyakit yang sampai sekarang Adi tidak paham sesering apapun ia membaca di papan iklan rokok.
Masih dengan perasaan kesal, ia menyusuri gang sempit itu. Biasanya kalau ada Kak Ari, pasti Kak Ari akan berjalan sambil membuat tebak-tebakan yang rasanya selalu lucu ditelinga Adi. Seperti tebakan kemarin.  “Bunga apa yang tidak pernah layu, heh, Di?” tanyanya. “Bunga bank, lah, Kak,” jawab Adi yakin. “Oooh salah, jawabnya adalah bunga bangkai, hahahaha kena lagi kan!”
Aaah entah kenapa Adi malah semakin kesal dan makin memburu langkahnya agar segera sampai. Panggilan dari Dito, teman bermainnya, hanya dibalas dengan lambaian tanda tak ingin diganggu. Akhirnya sampai juga ia di depan pintu ‘rumahnya’. Tanpa salam dibukanya pintu yang sedikit menganga. Didapatinya kak Ari sedang tidur dengan mulut menganga dan tangan serta kaki yg terbuka lebar seperti siap diterkam siapa saja. Dilempar sembarangan tas Ben 10 favoritnya lalu ditendang asal kaki Kak Ari yg langsung bereaksi dengan mengerjapkan matanya. Melihat kakaknya sudah tahu akan kehadirannya, berteriaklah Adi, meluapkan semua kekesalannya. Memaki Kak Ari dengan segala macam penghuni kebun binatang yang bahkan belum sempat ia kunjungi. Setidaknya kata itu yang sering ia dengar saat orang lain marah.
Kak Ari hanya membalik badannya saat mendengar makian Adi. Merubah posisi dan berniat melanjutkan tidur tanpa menggubris setiap detil yang Adi bicarakan. Makin kesal, ia menendang nendang Kak Ari. Saking kesalnya dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, ia menangis. Menangis sejadinya lalu terduduk kelelahan. Bisingnya kegiatan sehari-hari diluar rumah mereka makin diramaikan tangisan Adi.
Saat dirasa tangisan adiknya cukup mengganggu, Ari bangun dari posisi tidurnya lalu memeluk Adi yg berusaha berontak tapi akhirnya menyerah karena bagaimanapun pelukan Kak Ari adalah yang paling menenangkan. Tidak diacuhkannya bau keringat dan matahari yang menempel disana. Barulah dirasakan oleh Adi kenapa alasan ia begitu kesal. Selama ini hanya Kak Arilah yang selalu ada saat ia membutuhkan.
Setelah tangis Adi mereda, Kak Ari membuka suara. Diceritakannya alasan kenapa ia tidak menjemput Adi. Ternyata itu adalah salah satu bentuk protes karena kemalasan Adi. Adi yang tidak mendengarkan Kak Ari saat diminta mengerjakan tugas sekolah dan malah bermain Playstation bersama Dito di rental PS seberang jalan. Itulah yang menyebabkan Adi tidak mengerjakan tugas dan bangun kesiangan hari itu. Itulah yang membuat Adi sendiri dimarahi dua kali oleh Bu Sinta. Dan terlebih, Kak Ari marah betul saat semalam Adi malah mengoloknya karena Adi menyebutkan kata ‘bodoh’ diiringi dengan makian bahwa Kak Ari tidak pernah mengenyam bangku sekolah, tidak tahu rasanya dimarahi guru, tidak tahu betapa banyak PR dan tugasnya. Tidak tahu bahwa matematika terkadang menyulitkan, saat Kak Ari menyuruhnya pulang dan mengerjakan tugas sekolah.
Kak Ari tidak pernah semarah itu pada Adi, tidak pernah absen menjemput Adi. Lalu dengan lancar Kak Ari menjelaskan betapa ia pernah ingin sekolah tetapi kondisi Bapak yang pengangguran mengharuskannya mengamen di angkutan-angkutan umum dari pagi hingga sore. Betapa sedihnya saat tidak ada Ibu yang membela niatnya karena Ibu sudah pergi meninggalkan mereka setahun setelah melahirkan Adi. Kak Ari mengingatkan Adi setiap hari mereka makan dari hasilnya bernyanyi dari satu bis ke bis yang lain. Mengingatkan Adi untuk bersyukur tidak harus bergulat dengan terik matahari dan bisingnya lalu lintas. Tidak harus mengais menengadahkan tangan sebagai upah dari lirik lagu yang diteriakannya.
Adi terdiam menyimak, walaupun terlahir di gang sempit, terlahir dengan banyak kekurangan materi dan umurnya yang masih 9 tahun, tetapi Adi memahami betul apa yang disampaikan Kak Ari. Kini yang timbul adalah perasaan menyesal. Yang timbul adalah perasaan sayang pada sesosok kakak laki-laki yang terduduk dengan rambut ikal yang tak beraturan. Kakak laki-laki berumur 15 tahun yang walaupun kadang kasar dan seperti tidak peduli tapi sangat dewasa baginya. Menjadi sesosok Ayah dan Ibu dalam raga yang sama tapi tak lupa juga perannya sebagai Kakak.
Adi kecil yang baru berumur 9 tahun bisa melihat kedewasaan Kakaknya yang bahkan tak pernah mengenyam bangku sekolah, yang tak pernah diberi PR matematika oleh Bu Sinta. Dipeluknya Kak Ari, kali ini lebih erat dan lebih kuat dari sebelumnya. Ari melepas pelukan itu dan mengambil bungkusan plastik dari atas meja kecil disamping kasur. Samar-samar Adi mencium wangi ayam bakar.Dan benar saja, ternyata Kak Ari membelikannya nasi padang dan tunggu.. apa itu yang dikeluarkan Kak Ari? Kotak kecil dihiasi pita. Ari menyerahkan kotak itu pada Adi. Dengan tak sabar dibukanya kotak yang dibungkus kertas koran dan ia mendapati alat tulis bergambar Ben 10 yang beberapa minggu terakhir diperhatikannya di etalase toko buku dipinggir jalan setiap berangkat sekolah.
Adi mengerjap lalu tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Ia baru ingat ini hari ulang tahunnya. Ia baru ingat kenapa Kak Ari membelikan nasi padang ayam bakar kesukaannya. Dipeluknya lagi Kak Ari yang bau matahari. Sungguh Adi kecil tahu rasanya bersyukur hari itu. Sungguh tak ada yang paling dicintainya selama hidupnya selain Kak Ari. Kak Ari yang tumbuh di jalan dan sesaknya bis-bis kota, tidak perlu bersekolah untuk bisa memperlakukannya istimewa. Tidak perlu diberi tugas oleh Bu Sinta untuk bisa menyentuh sedalam ini perasaan Adi kecil.
“Aku mau rajin sekolah, Kak,” janjinya pada Kak Ari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar